Sabtu, 03 Desember 2011

WAKTU YANG TEPAT


WAKTU YANG TEPAT
Sebenarnya aku risih sejak lima menit lalu hingga sekarang kedua bola mata pria itu tidak bisa lepas menatap diriku. Entah apa motif si pria itu metap aku dari tadi. Lima menit yang lalu aku sedang asik bercengkrama dengan teman-teman ku sambil menyeruput kopi hangat di café yang terletak di bukit ini. Hingga akhirnya sadar ada sesuatu yang mengganjal, ku lirikan mata ku, ternyata benar ada sesosok pria bersama teman-temanya sedang bergurau, namun pria itu dari tadi menatap ku.
            Oke, aku sebenarnya tahu siapa pria itu. Dia adalah pacar teman ku. Hmm..bukan , maksud ku pacarnya temanya teman ku. Tapi setahu ku dia dan pacarnya adalah pasangan serasi. Tapi ku dengar yang ngebet  pacaran itu si wanitanya, itu juga dari omongan orang. Kalo memang mereka pasangan serasi, mengapa mata pria itu terus saja menelanjangi diriku. Dasar, semua pria itu sama saja.
“Li, rasanya aku sudah bosan di café ini, bagaimana kalau kita menunggang kuda berkeliling kebun  disana?” pintaku kepada sahabatku, Lia
“Oke lah kalau begitu, aku juga sudah bosan disini.” Jawab Lia.
Di perjalanan menuju kandang kuda. “ Li, kamu merasa nggak sih kalau pria di seberang tempat duduk kita tadi memperhatikan aku terus?” tanyaku pada Lia.
“Iya, aku juga lihat itu, jangan-jangan di naksir kamu?” goda Lia.
“Huss,,,jangan ngaco deh, pria itu kan pacarnya Eva.” Jelasku.
“Tapi siapa tahu.” Tebak Lia.
            Sedikit gede rasa juga sih mendengar ucapan dari Lia. Tapi itu enggak boleh terjadi. Jaman sekarang kalau berpacaran dengan mantan teman sendiri itu sama aja seperti berani jatuh di mulut buaya. Jangankan mantan, lah ini masih pacarnya orang, mati aja deh.
“Ti, lihat deh pria itu ngikutin kita kesini.”
“Ah, ngaco kamu.” Jawabku ke Lia.
“Idih enggak percaya, lihat dibelakang kita siapa tuh.” Tegas Lia.
            Akupun menoleh kebelakang. Astaga, benar juga pria itu ngikutin aku. Ah, aku enggak boleh gede rasa dulu. Aku berlari ke kuda yang sudah disiapkan buat aku tunggangi.
“Ini kudaku kan, mas?” Tanyaku ke mas pembawa kuda.
“Iya non, ini kuda kesayangan non, masa lupa sih?” ledek masnya.
“Eh, iya. Ini lencananya sudah kencengkan ,mas?” Tanyaku.
“Sudah non, siap dipakai kok non.” Jelasnya.
            Hap. Akhirnya aku sudah bisa naik punggung kuda ini dengan benar. Aku pun menunggangi kuda dan berkeliling mengitari kebun teh yang luas ini. Pemandangan hamparan kebun teh ini bisa buat pikiranku tenang dan bikin badan segar. Secara aku bekerja di salah satu perusahaan swasta di ibu kota dan bisa buat tubuhku merasa penat sekali.
Plok..Plok..Plok… suara tapak kuda mendekat.
“Tita ya?” Sapa pria yang dari tadi melihat dan mengikutiku.
“Iya.” Jawabku dengan nada datar.
“Aku Tio.” Pria itu memperkenalkan dirinya.
“Iya aku sudah tahu.”
“Lho, kamu kok bisa tahu nama ku?” Tanya Tio.
“Kamu sendiri kok bisa tahu namaku Tita?” Ku Tanya balik.
“Aku tadi tanya sama mas yang bawain kuda kamu.” Jawabnya.
“Oh.” Jawabku singkat.
“Trus kamu kenapa bisa tahu namaku?” Tanya Tio.
“Iya, kan kamu pacarnya Eva.”
“Jadi kamu sudah tahu kalau aku sudah punya pacar.”
            Aku sedikit kesal dengan si pria ini. Apa coba maksudnya sudah tahu kalau dia sudah punya pacar. Jadi kalau aku belum tahu dia mau apa (gumamku dalam hati). Kupercepat laju kudaku dan tidak menghiraukan sahutan si Tio itu.
“Li, yuk kita balik ke villa kamu.” Pintaku ke Lia.
“Lho ada apa,Ti?” Tanyanya.
“Aku pusing.” Tegasku.
***
            Malampun tiba. Badanku rasanya remek akibat menunggang kuda dengan posisi  duduk yang salah.
“Lia, aku ke café depan ya. Aku mau beli wedang jahe.”
“Iya deh sana. Aku mau tidur aja di villa. Jangan lama-lama di luar ya.” Jawab Lia.
“Oke.”
Di café….
“Pak, wedang jahe satu.” Pintaku kepada bapak penjualnya.
“Dua ya pak.” Sahut suara pria di belakangku. Oh, ternyata si Tio.
“Hai. Ketemu lagi.” Sapa Tio.
“Aku rasa, kamu yang sengaja mengikutiku.” Jawabku dengan nada cuek.
“Hei, jangan manyun gitu deh.”
“ Sebenarnya kamu ini mau apa sih?” Tanyaku.
“Mau ku? Ku mau menjadi kekasih mu.”
“Hah? Aku rasa wedang jahenya belum disajikan, tapi kamu sudah nglantur ya?” Jawabku dengan keheranan.
“Aku serius.” Tegasnya.
“Kamu pikir, aku mau jadi kekasihmu?”
“Aku pikir, kamu mau dan akan menjadi kekasihku serta menjadi pendamping seluruh hidup ku.”
“Aku sudah enggak bisa mikir lagi dengan sikapmu. Pertama kamu memandangiku, lalu mengikutiku, lalu sekarang kamu melamarku. Kamu ini sedang mempermainkanku atau apa? Kamu harus tahu, jangan mudah mempermainkan perasaan, terutama pada wanita. Lalu, sekarang kemana Eva yang kata orang kalian adalah pasangan sejati, pasangan harmonis, pasangan yang tidak bisa terpisahkan.” Jelasku.
“Kamu percaya dengan semua kata orang-orang itu? Kamu harusnya bertanya dulu ke sumbernya, baru kamu boleh percaya. Dan asal kamu tahu, aku sudah terlebih dahulu menyukaimu semenjak lima menit lima tahun yang lalu. Ya, aku menyukaimu sejak lima tahun yang lalu. Semenjak aku tidak bisa melupakan kerlipan sinar dari matamu itu. Tetapi dua tahun kemudian datanglah Eva yang memaksaku untuk bersamanya. Itu semua untuk melupakanmu, tapi nyatanya aku tidak bisa. Aku sudah meninggalkan Eva dua bulan yang lalu, tapi aku tidak bisa meninggalkan memori tentangmu.”Jelasnya panjang lebar.
“Kamu tidak pernah tahu dan tak akan pernah tahu, bagaimana aku memendam rasa ini untukmu. Bayangkan, lima tahun itu bukan waktu yang sebentar.” Tambahnya.
            Aku nyeruput wedang jahe yang sudah diantar dari tadi dan sekarang sudah tidak panas lagi. Tapi hawa panas dari perbincangan antara aku dan Tio sudah tidak bisa di bendung  lagi.
“Jadi, kamu selama ini menyukaiku? Tapi mengapa kamu tidak pernah mengutarakannya?” Tanyaku.
“Karena aku pikir, saat itu adalah waktu yang belum tepat.”
“Jadi kamu pikir, sekarang waktu yang teapat?”
“Iya. Jadi maukah kamu menjadi pendamping hidupku?”
“ Maaf aku tidak bisa.” Jawabku perlahan.
“Mengapa?” Tanya Tio padaku dengan raut muka yang pilu.
“Aku ke bukit ini untuk melaksanakan pernikahan dengan pria yang tepat dengan waktu yang tepat pula untukku,dan itu lima hari lagi.” Jelasku.


TAMAT